Di
Indonesia, “Semakin
hari semakin banyak persoalan yang terjadi, sementara persoalan-persoalan yang
telah ada sebelumnya, belum terselesaikan secara tuntas.
Persoalan para pengungsi TKI dan TKW, yang
jumlahnya mencapai ratusan ribu, kini tertampung di Nunukan. Lebih dari 60 jiwa
melayang karena kekurangan gizi. Ironis dan tragis, ini merupakan tragedi
kemanusiaan yang sangat dahsyat, sekaligus mempermalukan bangsa kita di dunia
internasional. Persoalan pertikaian di Ambon yang sempat mereda kini kembali
memanas. Persoalan Naggroe Aceh Darussalam sampai kini tak kunjung selesai. Recovery
di bidang ekonomi belum memperlihatkan perubahan positif yang signifikan.
Penduduk miskin semakin membengkak jumlahnya. Grafik yang menunjukan jumlah
anak-anak yang hidup di kolong-kolong jembatan, tidak mendapat tempat tinggal
dan pendidikan yang layak, menunjukkan kenaikan. Supremasi hukum yang telah
dicanangkan sejak awal reformasi empat tahun yang lalu, belum juga
memperlihatkan kekuatannya. Sementara di bidang politik, partisipasi rakyat
secara maksimal belum terakomodasi dengan baik, terlihat dari ribuan pengunjuk
rasa yang notabene adalah rakyat yang hendak menyuarakan aspirasinya ditekan
dengan tindakan kekerasan yang mengarah ke represif”. Begitulah Didin Hafidhuddin, seperti dikutip
dalam sebuah harian umum, melontarkan sedikit persoalan yang dihadapi oleh
bangsa kita saat ini. Sebuah gambaran wajah ibu pertiwi yang carut marut, obrak
abrik, meringis, menangis kesakitan disakiti putranya sendiri.
Persoalan-persoalan
kompleks yang terus datang bergantian melanda, bergulir seiring bergantinya
hari, seakan tak menemukan juga sebuah titik terang bagi penyelesaiannya,
melainkan semakin bertambah saja dari berbagai lini kehidupan tak terkecuali di
bidang pendidikan.