Gugun, seorang
mahasiswa perguruan tinggi, tengah memandangi langit dari balik kaca kelasnya.
Sesekali pandangannya jatuh ke atas kertas folio dihadapnnya yang masih kosong.
Pulpen yang sedari tadi dipegangnya itu tak juga menggoreskan sepatah kata.
Otaknya seperti berpikir keras. Merasa bosan karena tak juga mendapatkan
‘ilham’ untuk menulis, akhirnya ia pergi menemui salah seorang staff redaksi
sebuah mading yang seminggu lalu memintanya untuk menulis sebuah artikel. Gugun
memintanya agar dicari saja penulis yang lain untuk menggantikan dirinya karena
ia merasa tidak mungkin menyelesaikan artikelnya dalam satu malam. Alhasil,
hilang sudah satu kesempatan.
Lain halnya dengan Yana
Priatna, seorang siswa SMU di Bandung yang berusia 16 tahun. Berawal dari
kegemarannya membaca yang kemudian dari bacaan-bacaannya itu ia bisa membuat
analisis seputar topik yang dibacanya, termasuk soal politik. Lama kelamaan, ia
merasa sayang jika analisisnya itu cuma terpendam di otak.
Dari sini timbul
keinginan untuk menuangkan buah pikirannya ke dalam bahasa tulisan. Kemudian,
dengan mengemas dalam bahasa yang baik Yana memulai ‘petualangan’ menulisnya
dengan mengirimkan tulisan-tulisannya ke media massa.
Cerita di atas jelas
menggambarkan dua buah kondisi yang benar-benar bertolak belakang. Gugun
mengalami kebuntuan ide untuk dituangkan kedalam sebuah tulisan. Pasalnya,
selain memang belum begitu berpengalaman, sedikitnya membaca -selain buku-buku
kuliah- menjadi salah satu faktor penghambat untuk mendapatkan ide tulisan.
Sedangkan Yana sebaliknya. Ia kebanjiran ide. Hobinya membaca telah memperluas
wawasannya.
Menulis merupakan salah
satu sarana untuk membentuk opini publik. Tempat berkomunikasi dengan
masyarakat melintasi batas ruang dan waktu. Melalui tulisan kita menyampaikan
informasi kepada pembaca untuk kemudian tulisan itu bisa saja diterima,
disempurnakan atau dikritik habis-habisan oleh pembaca dimana kesemuaannya itu
menunjukan bahwa sebuah tulisan direspon (dibaca).
Tapi ternyata, menulis
terutama menulis karya ilmiah bukanlah perkara yang mudah. Menuangkan ide dalam
pikirian kemudian menyajikannya dalam rangkian kata yang enak dibaca sehingga
pesan yang hendak kita sampaikan dapat ditangkap oleh pembaca, perlu
keterampilan tertentu.
Dalam sebuah penelitian dikatakan bahwa minat
membaca dan menulis bangsa Indonesia hanya 0,07% dibanding negara-negara maju
di dunia. Angka tersebut secara tidak langsung menunjukan kita sebagai bangsa
yang malas dan bodoh.
Secara panjang lebar,
Ratu Ratna Damayani (wartawan Republika) menerangkan tentang hal ini.
Menurutnya, jumlah mereka yang suka menulis masih sangat minim dibanding dengan
jumlah orang pintar di Indonesia. Apalagi dibanding dengan seluruh penduduk
yang berjumlah 220 jiwa itu. Orang-orang yang disebut sebagai orang pintar
tersebut adalah mereka yang secara status sosial memiliki gelar tertinggi dalam struktur
akademik dan duduk di kursi MPR/DPR, yaitu doktor.
Orang-orang pintar itu
–masih menurut Damayani- seolah mejadi impoten. Gagasannya jarang terdengar.
Jangankan bicara soal temuan atau ciptaan, karya tulis berupa buku dan opini
publik pun masih sedikit. Agaknya mereka harus lebih gemar menelurkan ide,
gagasan , atau konsep-konsepnya lewat tulisan atau buku. Dengan begitu, secara
tidak langsung mereka men-train diri mereka sendiri sekaligus masyarakat
untuk lebih pandai, kritis, dan memicu minat tinggi untuk membaca dan
menulis.
Tapi tentu saja tidak
dapat dipungkiri bahwa dalam kondisi seperti yang diungkapkan Damayani di atas,
masih ada mereka yang berjuang keras mendidik masyarakat lewat tulisan
(utamanya dalam bidang keagamaan). Quraish Shihab dengan tafsir qur’annya,
Ginanjar yang menampilkan Al-Qur’an yang lebih dikenal sebagai doktrin halal
haram menjadi sesuatu yang practice dan dekat dengan keseharian manusia,
Aa Gym dengan konsep Manajemen Qalbunya, dan tak ketinggalan Helvy Tiana Rosa
yang kini tengah giat-giatnya membentuk generasi-generasi muda yang cinta
menulis lewat Forum Lingkar Pena.
Menulis, selain
berkomunikasi dengan masyarakat yang terpenting adalah mengkodisikan diri kita
sendiri untuk mau bertanggung jawab kepada apa yang ditulis. Dengan demikian
kita terpacu untuk menjadi sebaik seperti apa yang kita ungkapkan. Wallahu
a’lam bishshawwab. (Dedicated to: me).
Kiat menulis:
1) Gemar membaca
Membaca dan menulis mempunyai kaitan yang erat
sekali. Untuk bisa menulis dibutuhkan wawasan yang memadai. Wawasan kita akan
berkembang terutama bila kita banyak membaca. Hasan al Bana, misalnya, pernah
menganjurkan kepada pemuda pemudi Mesir agar dalam seminggu mereka tidak hanya
membaca buku yang mereka minati atau sesuai dengan bidang yang mereka tekuni,
tetapi juga membaca buku lain –di luar minat dan bidang mereka. Ini belum
termasuk koran dan majalah.
2) Mencintai bahasa
Sepanjang
hari selama hidup kita, kita tak akan bisa lepas dari bahasa. Bahkan kerap kali
kadar intelektual seseorang diukur dari cara ia menggunakan bahasa. Contoh yang
mudah, cara bicara seorang sarjana tentu berbeda dengan cara seorang pembantu
rumah tangga.
Ada
sinkronisasi bahwa orang yang menulinya sistematis maka bicaranya pun
sistematis. Menurut Hasan al Banna bahwa seorang Muslim yang cerdas itu
memiliki kemampuan menulis sama baiknya dengan menulis.
3) Menulis catatan harian
Mempunyai catatan
harian dan menuliskan apa yang kita pikirkan, kita rasakan atau kita alami
setiap hari di dalamnya menjadi latihan yang efektif bagi mereka yang ingin
menjadi penulis.
4) Korespondensi
Sama halnya dengan
catatan harian, korespondensi juga menjadi latihan yang baik dan efektif. Kita
akan terbiasa bercerita atau menuliskan gagasan yang mungkin akan didukung atau
dibantah oleh orang lain.
5) Hobi meneliti dan berdiskusi
Menulis bukan melulu persoalan keterampilan
berbahasa. Tulisan bisa menjadi lebih berkualitas dengan penelitian. Penelitian
sering membuat tulisan lebih ‘kaya’, unik dan cerdas. Begitu pula dengan
diskusi. Seringkali kita temukan hal-hal
baru seusai diskusi dengan seseorang. Kita pun dapat berlatih untuk mencoba
menuliskan kembali apa saja yang didiskusikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar