Selasa, 28 Februari 2012

OTONOMI PENDIDIKAN SEBUAH SOLUSI


Di Indonesia, Semakin hari semakin banyak persoalan yang terjadi, sementara persoalan-persoalan yang telah ada sebelumnya, belum terselesaikan secara tuntas.
Persoalan para pengungsi TKI dan TKW, yang jumlahnya mencapai ratusan ribu, kini tertampung di Nunukan. Lebih dari 60 jiwa melayang karena kekurangan gizi. Ironis dan tragis, ini merupakan tragedi kemanusiaan yang sangat dahsyat, sekaligus mempermalukan bangsa kita di dunia internasional. Persoalan pertikaian di Ambon yang sempat mereda kini kembali memanas. Persoalan Naggroe Aceh Darussalam sampai kini tak kunjung selesai. Recovery di bidang ekonomi belum memperlihatkan perubahan positif yang signifikan. Penduduk miskin semakin membengkak jumlahnya. Grafik yang menunjukan jumlah anak-anak yang hidup di kolong-kolong jembatan, tidak mendapat tempat tinggal dan pendidikan yang layak, menunjukkan kenaikan. Supremasi hukum yang telah dicanangkan sejak awal reformasi empat tahun yang lalu, belum juga memperlihatkan kekuatannya. Sementara di bidang politik, partisipasi rakyat secara maksimal belum terakomodasi dengan baik, terlihat dari ribuan pengunjuk rasa yang notabene adalah rakyat yang hendak menyuarakan aspirasinya ditekan dengan tindakan kekerasan yang mengarah ke represif. Begitulah Didin Hafidhuddin, seperti dikutip dalam sebuah harian umum, melontarkan sedikit persoalan yang dihadapi oleh bangsa kita saat ini. Sebuah gambaran wajah ibu pertiwi yang carut marut, obrak abrik, meringis, menangis kesakitan disakiti putranya sendiri.
Persoalan-persoalan kompleks yang terus datang bergantian melanda, bergulir seiring bergantinya hari, seakan tak menemukan juga sebuah titik terang bagi penyelesaiannya, melainkan semakin bertambah saja dari berbagai lini kehidupan tak terkecuali di bidang pendidikan.
Melihat kasus-kasus seperti diungkap di atas, maka, menyorot masalah pendidikan adalah suatu keharusan. Mengapa? Karena ibarat bangunan rumah, di sebuah negara, maka pendidikan adalah pondasinya. Pendidikan yang disoriented atau salah arah akan melahirkan generasi yang tak jelas pula visinya.
Sejalan dengan makna pembaharuan yang bertujuan untuk mengadakan perubahan ke arah yang lebih baik, reformasi yang didengungkan sejak empat tahun lalu pun mengusung aspek pendidikan ke dalam buku agenda reformasi sebagai salah satu yang harus direformasi. Tentunya pula dengan mengantongi segudang harapan agar bangsa Indonesia segera keluar dari jerat masalah yang melilit segala aspek kehidupan ini. Pendidikan adalah salah satu sarana yang paling dominan dalam rangka menuju ke perubahan tersebut. Melalui pendidikan ini, tatanan kehidupan politik, sosial, ekonomi, hukum, kebudayaan bahkan sektor pertahanan dan keamanan bisa mengalami perubahan yang drastis, jika pendidikan itu sendiri dioptimalisasikan fungsinya sesuai dengan kebutuhan.
Sebagai evaluasi, bahwa selama 32 tahun yang lalu, pendidikan nasional Indonesia yang berada dibawah cengkraman orde baru, telah diorientasikan pada budaya sentralistik, hegemonik dan monolistik. Pendidikan nasional, seperti diungkap oleh Azyumardi Azra, hampir tidak memberikan ruang gerak yang memadai bagi masyarakat di wilayah atau daerah tertentu untuk mengembangkan pendidikan yang sesuai dan relevan dengan daerah dan kebutuhan masyarakat sendiri. Hasilnya? Bisa kita sendiri. Alumni-alumni Universitas Bangsa Indonesia tanpa bisa menafikan bahwa kita pun termasuk di dalamnya, adalah masyarakat Indonesia yang terdaftar sebagai negara pengimpor TKI (yang kebanyakan bekerja sebagai butuh) terbesar di dunia, bangsa ter-corrupt.
Sistem pendidikan disentralisasi yang kini diterapkan yang diharapkan mampu merubah wajah pendidikan di Indonesia ke arah yang lebih baik dan menjanjikan untuk melahirkan generasi-generasi unggul, nyatanya masih menimbulkan banyak persoalan yang belum terpecahkan. Salah satu masalah yang muncul dari sistem otonomi pendidikan ini adalah minimnya keterlibatan masyarakat dalam masalah ini. Padahal masyarakat adalah salah satu faktor pendukung penting dalam rangka mensukseskan otonomi pendidikan ini. (Rep.02/09/02)
Kemandirian sekolah dalam memenuhi kebutuhan segala fasilitasnya adalah sebuah konsekuensi logis dari penerapan otonomi pendidikan. Itulah mengapa, keterlibatan masyarakat begitu penting dalam hal ini untuk turut membantu sekolah dalam memenuhi fasilitasnya.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Dr. Basuki Wibawa, seorang staff pengajar di UNJ, bahwa upaya melibatkan masyarakat dalam hal otonomi pendidikan, masih banyak mengalami kendala. Dari hasil penelitian diketahui bahwa 96 persen orang tua murid mengetahui tentang program pendidikan yang diselenggarakan di sekolah. Dari jumlah tersebut, 91 persen dilibatkan dalam program oleh sekolah. Dan hampir 60 persen sekolah melibatkan satu wakil orang tua murid dalam program.  Dari 49 persen orang tua yang dilibatkan dalam keberlangsungan proses belajar mengajar di luar iuran rutin (SPP&BP3), hanya 3 persen saja yang memberikan sumbangan berupa ide, fisik, mental dan dana di luar iuran wajib. Sisanya, setengah-setengah. Belum lagi sekolah swasta, yang biasanya sumbangan dana dari orang tua merupakan satu-satunya sumber dana menjadi terhambat. Hal ini disebabkan  karena di daerah-daerah biasanya kemampuan ekonomi orang tua muridnya lemah.
Selain pihak orang tua murid, pihak lain yang seyogyanya turut pula berperan dalam pemberdayaan sekolah ini adalah LSM, perusahaan dan masyarakat umum sekitar. Namun, masih menurut penelitian tersebut, bantuan atau peran serta dari mereka, umumnya dirasakan masih sangat kurang.
Jika keadaannya begini, maka ketika ditanya: tindakan apa yang akan dilakukan jika pemerintah berhenti memberikan bantuan, maka salah satu tindakan yang akan diambil oleh kebanyakan sekolah adalah menaikan SPP/BP3.
Keputusan ini menjadi sebuah solusi sekaligus menimbulkan kekhawatiran baru. Betapa tidak, krisis ekonomi yang melanda dan sampai saat ini masih belum juga menemukan titik terangnya, menjadikan bangsa kita ini morat-marit. Dan yang paling merasakan akibat dari krisis ekonomi ini adalah rakyat kecil. Dan tentunya kenaikan biaya sekolah (SPP) akan menjadi salah satu penghambat kelancaran pendidikan anak bagi keluarga yang ekonominya lemah. Melihat kemungkinan seperti ini, haruskah grafik anak-anak yang tidak mendapatkan pendidikan yang layak terus meningkat karena terbentur masalah ekonomi (Biaya).
Di masa yang serba instan ini pun, dua tahun memanglah usia yang masih terlalu belia untuk ingin segera mengetahui hasil dari penerapan sistem otonomi pendidikan ini, namun, tak ada salahnya jika kita sebagai orang-orang yang berada di wilayah pendidikan, mulai pula turut memikirkan apa kiranya yang bisa kita lakukan untuk mengoptimalisasi fungsi pendidikan ini, sekarang atau kelak. Sehingga kondisi-kondisi menyedihkan seperti digambarkan di muka tadi, tidak perlu terjadi, sehingga wajah ibu pertiwi kita bisa tersenyum kembali. Semoga. Wallahu alam bishshawwab. (dari berbagai sumber).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar