Di
Indonesia, “Semakin
hari semakin banyak persoalan yang terjadi, sementara persoalan-persoalan yang
telah ada sebelumnya, belum terselesaikan secara tuntas.
Persoalan para pengungsi TKI dan TKW, yang
jumlahnya mencapai ratusan ribu, kini tertampung di Nunukan. Lebih dari 60 jiwa
melayang karena kekurangan gizi. Ironis dan tragis, ini merupakan tragedi
kemanusiaan yang sangat dahsyat, sekaligus mempermalukan bangsa kita di dunia
internasional. Persoalan pertikaian di Ambon yang sempat mereda kini kembali
memanas. Persoalan Naggroe Aceh Darussalam sampai kini tak kunjung selesai. Recovery
di bidang ekonomi belum memperlihatkan perubahan positif yang signifikan.
Penduduk miskin semakin membengkak jumlahnya. Grafik yang menunjukan jumlah
anak-anak yang hidup di kolong-kolong jembatan, tidak mendapat tempat tinggal
dan pendidikan yang layak, menunjukkan kenaikan. Supremasi hukum yang telah
dicanangkan sejak awal reformasi empat tahun yang lalu, belum juga
memperlihatkan kekuatannya. Sementara di bidang politik, partisipasi rakyat
secara maksimal belum terakomodasi dengan baik, terlihat dari ribuan pengunjuk
rasa yang notabene adalah rakyat yang hendak menyuarakan aspirasinya ditekan
dengan tindakan kekerasan yang mengarah ke represif”. Begitulah Didin Hafidhuddin, seperti dikutip
dalam sebuah harian umum, melontarkan sedikit persoalan yang dihadapi oleh
bangsa kita saat ini. Sebuah gambaran wajah ibu pertiwi yang carut marut, obrak
abrik, meringis, menangis kesakitan disakiti putranya sendiri.
Persoalan-persoalan
kompleks yang terus datang bergantian melanda, bergulir seiring bergantinya
hari, seakan tak menemukan juga sebuah titik terang bagi penyelesaiannya,
melainkan semakin bertambah saja dari berbagai lini kehidupan tak terkecuali di
bidang pendidikan.
Melihat
kasus-kasus seperti diungkap di atas, maka, menyorot masalah pendidikan adalah
suatu keharusan. Mengapa? Karena ibarat bangunan rumah, di sebuah negara, maka
pendidikan adalah pondasinya. Pendidikan yang disoriented atau salah arah akan
melahirkan generasi yang tak jelas pula visinya.
Sejalan dengan
makna pembaharuan yang bertujuan untuk mengadakan perubahan ke arah yang lebih
baik, reformasi yang didengungkan sejak empat tahun lalu pun mengusung aspek
pendidikan ke dalam buku agenda reformasi sebagai salah satu yang harus
direformasi. Tentunya pula dengan mengantongi segudang harapan agar bangsa
Indonesia segera keluar dari jerat masalah yang melilit segala aspek kehidupan
ini. Pendidikan adalah salah satu sarana yang paling dominan dalam rangka
menuju ke perubahan tersebut. Melalui pendidikan ini, tatanan kehidupan
politik, sosial, ekonomi, hukum, kebudayaan bahkan sektor pertahanan dan
keamanan bisa mengalami perubahan yang drastis, jika pendidikan itu sendiri dioptimalisasikan
fungsinya sesuai dengan kebutuhan.
Sebagai
evaluasi, bahwa selama 32 tahun yang lalu, pendidikan nasional Indonesia yang
berada dibawah cengkraman orde baru, telah diorientasikan pada budaya
sentralistik, hegemonik dan monolistik. Pendidikan nasional, seperti diungkap
oleh Azyumardi Azra, hampir tidak memberikan ruang gerak yang memadai bagi
masyarakat di wilayah atau daerah tertentu untuk mengembangkan pendidikan yang
sesuai dan relevan dengan daerah dan kebutuhan masyarakat sendiri. Hasilnya?
Bisa kita sendiri. “Alumni-alumni” “Universitas Bangsa Indonesia” tanpa bisa menafikan bahwa kita pun termasuk di
dalamnya, adalah masyarakat Indonesia yang ‘terdaftar’ sebagai negara pengimpor TKI (yang kebanyakan
bekerja sebagai butuh) terbesar di dunia, bangsa ter-corrupt.
Sistem
pendidikan disentralisasi yang kini diterapkan yang diharapkan mampu merubah
wajah pendidikan di Indonesia ke arah yang lebih baik dan menjanjikan untuk
melahirkan generasi-generasi unggul, nyatanya masih menimbulkan banyak persoalan
yang belum terpecahkan. Salah satu masalah yang muncul dari sistem otonomi
pendidikan ini adalah minimnya keterlibatan masyarakat dalam masalah ini.
Padahal masyarakat adalah salah satu faktor pendukung penting dalam rangka
mensukseskan otonomi pendidikan ini. (Rep.02/09/02)
Kemandirian
sekolah dalam memenuhi kebutuhan segala fasilitasnya adalah sebuah konsekuensi
logis dari penerapan otonomi pendidikan. Itulah mengapa, keterlibatan
masyarakat begitu penting dalam hal ini untuk turut membantu sekolah dalam
memenuhi fasilitasnya.
Dalam sebuah
penelitian yang dilakukan oleh Dr. Basuki Wibawa, seorang staff pengajar di
UNJ, bahwa upaya melibatkan masyarakat dalam hal otonomi pendidikan, masih
banyak mengalami kendala. Dari hasil penelitian diketahui bahwa 96 persen orang
tua murid mengetahui tentang program pendidikan yang diselenggarakan di
sekolah. Dari jumlah tersebut, 91 persen dilibatkan dalam program oleh sekolah.
Dan hampir 60 persen sekolah melibatkan satu wakil orang tua murid dalam
program. Dari 49 persen orang tua yang
dilibatkan dalam keberlangsungan proses belajar mengajar di luar iuran rutin
(SPP&BP3), hanya 3 persen saja yang memberikan sumbangan berupa ide, fisik,
mental dan dana di luar iuran wajib. Sisanya, setengah-setengah. Belum lagi
sekolah swasta, yang biasanya sumbangan dana dari orang tua merupakan
satu-satunya sumber dana menjadi terhambat. Hal ini disebabkan karena di daerah-daerah biasanya kemampuan
ekonomi orang tua muridnya lemah.
Selain pihak
orang tua murid, pihak lain yang seyogyanya turut pula berperan dalam
pemberdayaan sekolah ini adalah LSM, perusahaan dan masyarakat umum sekitar.
Namun, masih menurut penelitian tersebut, bantuan atau peran serta dari mereka,
umumnya dirasakan masih sangat kurang.
Jika
keadaannya begini, maka ketika ditanya: tindakan apa yang akan dilakukan jika
pemerintah berhenti memberikan bantuan, maka salah satu tindakan yang akan
diambil oleh kebanyakan sekolah adalah menaikan SPP/BP3.
Keputusan ini
menjadi sebuah solusi sekaligus menimbulkan kekhawatiran baru. Betapa tidak,
krisis ekonomi yang melanda dan sampai saat ini masih belum juga menemukan
titik terangnya, menjadikan bangsa kita ini morat-marit. Dan yang paling
merasakan akibat dari krisis ekonomi ini adalah rakyat kecil. Dan tentunya kenaikan
biaya sekolah (SPP) akan menjadi salah satu penghambat kelancaran pendidikan
anak bagi keluarga yang ekonominya lemah. Melihat kemungkinan seperti ini,
haruskah grafik anak-anak yang tidak mendapatkan pendidikan yang layak terus
meningkat karena terbentur masalah ekonomi (Biaya).
Di masa yang
serba instan ini pun, dua tahun memanglah usia yang masih terlalu belia untuk
ingin segera mengetahui hasil dari penerapan sistem otonomi pendidikan ini,
namun, tak ada salahnya jika kita sebagai orang-orang yang berada di wilayah
pendidikan, mulai pula turut memikirkan apa kiranya yang bisa kita lakukan
untuk mengoptimalisasi fungsi pendidikan ini, sekarang atau kelak. Sehingga
kondisi-kondisi menyedihkan seperti digambarkan di muka tadi, tidak perlu
terjadi, sehingga wajah ibu pertiwi kita bisa tersenyum kembali. Semoga. Wallahu
a’lam bishshawwab. (dari
berbagai sumber).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar